BeritaInfoJitu, Jakarta-Harga nikel yang terus merosot membuat pertambangan nikel di beberapa negara tutup. Lantas bagaimana dengan Indonesia, terlebih masalah nikel tengah hangat diperbincangkan kembali setelah Mantan Mendag Era Jokowi membahasnya ke publik dalam akun youtubenya.
Menanggapi permasalahan tersebut, Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dalam siaran persnya beberapa waktu yang lalu di Jakarta mengatakan, Indonesia tidak akan ikut-ikutan menutup tambang nikel. “Ya biar aja tambang dunia tutup asal kita gak ikut-ikutan,” ujarnya.
Opung begitu biasa Luhut disapa juga menanggapi kabar buruk banyaknya pertambangan nikel yang tutup karena dinilai sebagai dampak dari anjloknya harga nikel dunia. Bahkan, Indonesia dinilai sebagai “biang kerok” atas kondisi ini. Banyaknya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di RI saat ini membuat pasokan nikel RI membanjiri dunia.
“Nggak ada (Indonesia jadi alasan harga nikel anjlok) juga. Saya berkali-kali bilang kalau mau lihat itu harus 10 tahun. Pas lagi sekarang naik, sama saja seperti batu bara,” jelasnya.
Menurutnya, harga sebuah komoditas, tidak hanya nikel, termasuk batu bara dan komoditas lainnya, harus dilihat secara kumulatif dan dihitung rata-ratanya.
“Itu kan at the end cari equilibrium-nya. Dia kan cari anu sendiri. Apa saja komoditi itu kamu lihatnya gak boleh dari setahun dua tahun harus 5-10 tahun. Harus dilihat kumulatif harganya. Kemudian melihat harga rata-ratanya,” tandasnya.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, anggapan terkait penurunan harga nikel karena suplai dari Indonesia yang membanjiri pasar dunia tidak sepenuhnya benar.
“Kalau dibilang oversupply gak sepenuhnya benar, karena penambahan produksi nikel dari Indonesia menggantikan supply di negara lain yang tidak efisien,” ungkap Seto.
Seto menjelaskan, data ekspor Indonesia selama Januari hingga November 2023 menunjukkan nilai ekspor produk turunan nikel mencapai US$ 31,3 miliar, naik 0,6% dibandingkan Januari sampai November 2022 yang sebesar US$ 31,13 miliar.
“Jadi walaupun turun harganya, pendapatan masih naik sedikit karena kenaikan volume,” ucapnya.
Di sisi lain, menurutnya harga nikel saat ini di level US$ 16.000-an masih lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata 10 tahun terakhir yang berada di level US$ 15.000-an.
“Perlu diingat bahwa harga nikel sekarang US$ 16 ribu itu masih lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata 10 tahun terakhir yang berada di level US$ 15 ribuan, bahkan masih lebih tinggi dibandingkan periode awal-awal kita melakukan hilirisasi tahun 2014-2019 yang harga rata-rata nikel di US$ 12 ribuan,” tutupnya. (Hs.Foto:Istimewa)