BeritaInfoJitu, Jakarta – Dalam acara debat cawapres yang berlangsung pada tadi malam (21/1) di Jakarta, Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka bertanya kepada Cawapres nomor urut 01 Mahfud MD mengenai greenflation atau inflasi hijau.
Mendapat pertanyaan tersebut, Mahfud MD nampak kesulitan untuk menjawabnya. Dan menjawab dengan instan. Sementara Gibran dengan gimik lucunya langsung melirik ke kanan ke kiri dan ke bawah. Sambil berkata, ” Saya kok belum menemukan jawaban dari pak Mahfud,” tegasnya.
Lantas apa sih yang dimaksud greenflation? Dijelaskan oleh ahli ekonomi Syamsul Hadi yang dihubungi melalui sambungan telepon via Whatsapp, Senin (22/1), greenflation berasal dari singkatan green (hijau) dan inflation (inflasi).
“Sehingga greenflation bisa diartikan kenaikan harga akibat peralihan ke ekonomi hijau. Kenaikan harga terjadi lantaran perusahaan mengeluarkan anggaran lebih untuk melakukan transisi energi mengingat biaya penggunaan energi hijau dianggap masih lebih mahal dibandingkan fosil,” tutur Syamsul.
Syamsul mencontohkan kenaikan harga bahan logam yang tinggi sekali terjadi pada litium. Harga litium naik 1.000 persen dari tahun 2020 hingga 2022.
“Inilah yang membuat penduduk di negara Eropa seperti Prancis melakukan demonstrasi, menolak greenflation dinegaranya. Dikarenakan menambah beban anggaran negara sekaligus mengurangi subsidi kepada masyarakat,” ujarnya.
Greenflation sendiri muncul ketika banyak negara, baik pemerintah maupun dunia usaha menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, khususnya dari ekonomi hijau.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Syamsul menjawab, hingga saat ini Indonesia masih belum menerapkannya. “Namun tidak menutup kemungkinan, Indonesia menggunakannya dikarenakan greenflation menggunakan produk teknologi yang ramah lingkungan,” tambahnya.
Namun seperti dituturkan Syamsul, Indonesia bisa saja tidak menerapkan greenflation, seandainya pemerintah mempercepat program hilirisasi hasil tambang di Indonesia.
“Dengan mempercepat program hilirisasi tambang, maka akan menambah stok atau suplai hasil tambang dan bahan logam yang diperlukan untuk penerapan teknologi hijau atau ramah lingkungan sehingga tidak terjadi inflasi hijau di Indonesia nantinya,” tegas Syamsul.
Syamsul juga meminta kepada berbagai pihak untuk mendorong dan mempercepat program hilirisasi.
“Salah satunya yang sudah dilakukan dan patut dihargai adalah upaya Bank Indonesia (BI) untuk memberikan insentif likuiditas makroprudensial bagi bank yang memberikan kredit bagi usaha yang menggarap hilirisasi mineral dan pertambangan. Insentif itu antara lain pengurangan dana wajib untuk giro wajib minimum dan dana wajib penyangga atau cadangan modal bagi bank yang menyalurkan kredit bagi usaha yang melakukan usaha hilirisasi mineral dan pertambangan,” tutup Syamsul. (Tj.Foto:Ss Youtube)