BeritaInfoJitu, Jakarta – Bertempat di depan Gedung Mahkamah Agung, pada tanggal 22 Juli masyarakat dari Papua Barat dan Papua Selatan yang terdiri dari adat suku Awyu dan suku Moi Sigin datangi Mahkamah Agung kedua kalinya dalam rangka memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.
Selain masyarakat adat dari Papua, banyak sejumlah aktivis yang hadir mendukung suara dari perjuangan rakyat papua seperti Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Ada pula kelompok anak muda dan organisasi masyarakat sipil, seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan lainnya. Mengenakan baju adat dari berbagai daerah, mereka membawa banner dan poster bertuliskan sejumlah pesan, seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.
“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan Suku Awyu dan Moi Sigin,” Ucap Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Kami semua berkunjung ke MA untuk menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin, serta mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi Sigin ke MA, yang diajukan masing-masing pada Maret dan awal Mei lalu.
Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Suku Awyu dan Moi Sigin menyerahkan secara langsung petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim tersebut menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara. “Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua.” dikutip dari Greenpeace Indonesia.
”Kami datang ke Jakarta menyampaikan petisi ke Mahkamah Agung (MA) agar MA memberikan keputusan yang berpihak kepada masyarakat adat, terutama menyangkut suku Moi Sigin di Kabupaten Sorong dan suku Awyu di Papua Selatan. Untuk luas lahan semua ada di dalam data-data”. Ucap Silas O. Kalami.S.Sos.,MA selaku Kepala Pengurus Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi.
Bagi masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hutan adat adalah warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.
Adapun kegiatan ini mendapat dukungan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), WALHI Papua, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia. #ALLEyesOnPapua (ck, dok. Greenpeace Indonesia)